Kamis, 08 April 2010

KOORDINASI DAN SUBORDINASI

A. Pengertian
Jika kita mengamati satuan-satuan sintaktis (frasa dan kalimat) ternyata satuan –satuan tersebut terdiri atas bagian-bagian yang lebih sederhana. Bagian-bagian yang membentuk satuan sintaktis tersebut sering disebut konstituen (Moeljono, 1988:257). Konstituen yang membentuk satuan sintaksis tersebut memiliki hubungan antara konstituen-konstituen pembentuknya. Hubungan konstituen yang salah satunya terikat pada konstituen lain disebut hubungan subordinasi. Sebaliknya, hubungan konstituan yang mandiri, konstituen-konstituen pembentuk satuan sintaksis mampu berdiri sendiri, tidak saling terikat disebut hubungan koordinasi.
Dalam kamus linguistik subordinasi diartikan 1) penggabungan dua unsur gramatikal dengan cara sedemikian rupa sehingga yang satu terikat pada yang lain, 2) hubungan antara klausa terikat dan klausa bebas (Kridalaksana, 2008:229). Koordinasi diartikan 1) penggabungan satuan-satuan gramatikal sederajat dengan konjungsi koordinatif, seperti dan, atau, tetapi, 2) konstruksi gramatikal yang terjadi demikian (Kridalaksana, 2008:136).
Menurut keraf koordinatif adalah kedudukan pola-pola kalimat sama tinggi, tidak ada pola-pola kalimat yang menduduki suatu fungsi dari pola yang lain. Subordinatif berarti hubungan antara pola-pola kalimat tidak sederajat, karena ada pola kalimat yang menduduki suatu fungsi dari pola yang lain (Keraf, 1984:168)

B. Subordinasi dan Koordinasi dalam Satuan Sintaktis
Berdasarkan pengertian dalam kamus linguistik, subordinasi bisa berkonstruksi frasa (dalam pengertian pertama) dan bisa berkonstrukasi kalimat (dalam pengertian kedua). Koordinasi juga bisa berkonstruksi frasa (dalam pengertian pertama) dan bisa berkonstruksi kalimat (dalam pengertian kedua). Jika pengertian Keraf subordinasi dan koordinasi hanya berkonstruksi kalimat.

1. Subordinasi dalam Konstruksi Frasa
Subordinasi dalam konstruksi frasa artinya unsur-unsur pembentuk frasa (konstituen frasa) memiliki unsur yang terikat unsur yang lain, contoh:
/mobil baru/
Frase tersebut terdiri atas konstituen ”mobil” dan ”baru”. Mobil pada frasa mobil baru memiliki kemandirian, sedangkan baru terikat pada unsur mobil. Frasa mobil baru adalah frasa subordinatif.

2. Subordinasi dalam Konstruksi Kalimat
Subordinasi juga terdapat pada konstruksi kalimat, kalimat dalam hal ini adalah kalimat yang memiliki dua konstruksi klausa, yaitu terdiri atas klausa bebas dan klausa terikat sehingga oleh keraf hubungan antar klausa tersebut tidak sederajat. Klausa bebas sebagai pokok kalimat, sedangkan klausa terikat menduduki fungsi dalam dalam kalimat yang lebih luas, contoh:
”Demonstrasi mahasiswa terjadi ketika pemerintah menaikkan harga BBM.”
Kalimat tersebut terdiri atas dua klausa:
/demonstrasi mahasiswa terjadi kemarin/
/pemerintah menaikkan harga BBM/
Klausa pertama merupakan klausa pokok karena bukan dari fungsi sintaktis yang lebih luas. Sedangkan klausa kedua adalah klausa sematan karena klausa tersebut menduduki fungsi keterangan pada konstruksi sintaktis yang lebih luas. Kalimat yang demikian disebut kalimat subordinatif.

3. Koordinasi dalam Konstruksi Frasa
Koordinasi dalam konstruksi frasa artinya unsur-unsur (konstituen) frasa memiliki kemandirian, tidak ada unsur yang terikat pada unsur lain, contoh:
/hancur lebur/
Frasa tersebut terdiri atas unsur ”hancur” dan ”lebur”. Kedua unsur tersebut memiliki kemandirian. Unsur ”hancur” tidak terikat unsur ”lebur”. Demikian pula, unsur ”lebur” tidak terikat unsur ”hancur”. Frasa yang demikian disebut frasa koordinatif.
4. Koordinasi dalam Konstruksi Kalimat
Koordinasi dalam kalimat terdapat pada kalimat yang memiliki dua klausa. Kedua klausa tersebut memiliki hubungan sederajat. Tidak ada klausa yang merupakan fungsi sintaktis dalam kalimat yang lebih luas. Kedua klausa biasanya dihubungkan dengan konjungtor koordinatif, seperti dan, atau, tetapi, contoh:
”Saya sudah meminta izin kepada orang tuaku, tetapi orang tuaku tidak mengizinkannya.”
Kalimat tersebut terdiri atas dua klausa:
/saya sudah meminta izin kepada orang tuaku/
/orang tuaku tidak mengizinkannya/
Kedua klausa memiliki kemandirian sebagai sebuah kalimat karena tidak ada klausa yang merupakan fungsi sintaktis yang lebih luas. Kalimat yang demikian sering disebut kalimat koordinatif.

C. Analisis Subordinasi dan Koordinasi dalam Satuan Sintaktis
Subordinasi dan koordinasi dalam konstruksi sintaktis sudah diuaraikan di atas, namun jika mencari contoh lain akan timbul masalah, contoh:
/meja kursi baru/
Frasa tersebut memiliki tiga unsur yaitu ”meja”, ”kursi”, dan ”baru”. Unsur ”meja” dan ”kursi” adalah unsur bebas, sedangkan unsur ”baru” adalah unsur terikat. jika demikian frasa tersebut termasuk frasa subordinatif atau frasa koordinatif.
Untuk menelaah frasa di atas kita harus mengetahui proses unsur-unsr tersebut membentuk satuan sintaktis frasa. Proses pembentukkan frasa di atas dapat dibuat bagan sebagai berikut:
meja + kursi + baru

Unsur ”meja” dan ”kursi” membentuk frase lebih dulu ”meja kursi”. Frase ”meja kursi” membentuk frase yang lebih luas menjadi ”meja kursi baru”. Frase ”meja kursi” adalah frase koordinatif, sedangkan frase ”meja kursi baru” disebut frase subordinatif.
Cobalah analisis frase-frase berikut!
/penyiar televisi swasta/
/rumah hancur lebur/
/mobil baru suami istri/
Permasalahan subordinasi dan koordinasi juga terjadi pada tataran kalimat. Perhatikan contoh berikut:
”Demonstrasi mahasiswa terjadi ketika pemerintah menaikkan harga BBM dan masyarakat membutuhkan lapangan kerja.”
Kalimat tersebut terdiri atas tiga klausa, yaitu
/demonstrasi mahasiswa terjadi kemarin/
/pemerintah menaikkan harga BBM/
/masyarakat membutuhkan lapangan kerja/
Klausa pertama adalah klausa bebas, sedangkan klausa kedua dan ketiga adalah klausa terikat karena memiliki satu fungsi sintaktis yang lebih luas. Kalimat semacam itu disebut kalimat campuran dengan satu klausa bebas dan dua klausa terikat. Konstruksi kalimat lain juga bisa terdiri atas dua klausa bebas dan satu klausa terikat. Bisakah Anda membuat contoh kalimat tersebut? Jika, ya. Cobalah Anda buat contohnya.

Pustaka
Ba’dulu, Abdul Muis dan Herman. 2005. Morfosintaksis. Jakarta : Rineka Cipta
Keraf, Gorys. 1984. Tata Bahasa Indonesia. Ende-Flores : Nusa Indah
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Moeljono, anton M. et.al. 1993. Tata bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka

Facebook | Foto I Love Jesus - Foto Profil

Facebook | Foto I Love Jesus - Foto Profil

Jumat, 12 Maret 2010

KELAS KATA TUGAS DAN CIRINYA NOMINA DAN VERBA
SEBAGAI PENGISI SUBJEK DAN PREDIKAT

I. KELAS KATA TUGAS DAN CIRINYA

1. Kelas kata apa saja yang termasuk kelas kata tugas ?
Secara semantis kata tugas merupakan kata yang hanya mengandung konsep-konsep relasional (Keraf, 1991:105). Dengan istilah lain kata tugas merupakan kata yang hanya memiliki makna gramatikal (Alwi dkk., 2000:287). Dari sudut ini kata tugas memiliki persamaan dengan afiks, yakni memiliki makna gramatikal. Perbedaannya, afiks tidak mempunyai kemandirian dalam tata tulis, artinya afiks selalu ditulis berangkai dengan bentuk bebas lainnya sedangkan kata tugas dapat ditulis berdiri sendiri, kecuali partikel -lah, -kah, -tah. Meskipun demikian baik kata tugas maupun afiks secara semantis adalah bentuk terikat karena tidak mampu hadir secara mendiri dalam tutur, keculi beberapa kata tugas yang tergabung dalam interjeksi.
Secara morfologis kata tugas adalah kata yang tidak mampu menjadi dasar pembentukan bentuk kata lain (2000:287). Ciri ini yang membedakan kata tugas dengan kata utama, seperti verba nomina. Verba datang dapat menurunkan kata lain seperti mendatangi, mendatangkan, dan kedatangan. Bentuk-bentuk seperti menyebabkan dan menyampaikan tidak diturunkan dari kata tugas sebab dan sampai, tetapi dari nomina sebab dan verba sampai yang bentuknya sama tetapi kategorinya berbeda.
Secara sintaksis kata tugas merupakan kata yang hampir semuanya perlu pendampingan kelas kata lain, kecuali terinjeksi (Kridalaksana, 1986:47)
Dengan demikian, kata tugas adalah kata yang hanya memiliki makna gramatikal yang tidak mampu menjadi dasar pembentukan kata dan kehadirannya memerlukan pendampingan kelas kata yang lain.

2. Kata Tugas Ciri dan Fenomena Morfologi
Para ahli bahasa memiliki cara pandang yang berbeda terhadap kata tugas. Di antara mereka yang telah menggunakan istilah kata tugas adalah Gorys Keraf. Beliau menjelaskan bahwa kata tugaas terdiri dari preposisi, konjungsi, dan adverbia (1991:107). Ahli yang lain seperti Raja Ali Haji menggunakan istilah “Harf” untuk menyebut preposisi, konjungsi, interogativa, dan onomatope. Anton M. Moeliono menggunakan istilah partikel untuk merujuk preposisi, konjungsi, penunjuk modalitas, penunjuk aspek, dan penunjuk derajat (dLm Kridalaksana, 1986:19).
Di dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa kata tugas terdiri atas beberapa subkategori, yaitu: preposisi, konjungtor, interjeksi, artikula, dan pertikel penegas.
a. Preposisi
Secara semantis, preposisi menandai hubungan makna antara konstituen di depan preposisi dengan konstituen dibelakangnya. Dalam kasus klausa pergi ke pasar misalnya, preposisi ke menyatakan hubungan makna arah antara pergi dan pasar.
Secara sintaksis, preposisi berada di depan nomina, adjektiva, atau adverbia sehingga membentuk frasa yang dinamakan frasa preposisional, seperti ke kampus, sampai penuh, dan dengan segera.
Secara morfologis, preposisi tidak mampu menjadi bentuk dasar dalam pembentukan kata.
Dilihat dari bentuknya, preposisi ada dua macam, yaitu preposisi tunggal dan preposisi majemuk. Preposisi tunggal adalah preposisi yang hanya terdiri atas satu kata dapat berupa kata dasar, misalnya di, ke, dari, pada, dan kata berafiks, seperti selama, mengenal dan sepanjang.
b. Konjungtor
Secara semantis, konjungtor menandai hubungan makna antara konstituen di depan
konjungtor dengan konstituen dibelakangnya. Contoh:
(1) Tari dan Ida sedang belajar bahasa.
Konjungtor dan menunjukan hubungan makna penambahan atau penjumlahan antara Tari
dan Ida.
Secara sintaksis, konjungtor dibagi menjadi empat kelompok, yaitu: konjungtor
koordinatif, konjungtor korelatif, konjungtor subordinatif, dan konjungtor antar
kalimat.
Secara morfologis, konjungtor tidak mampu menjadi bentuk dasar dalam pembentukan
kata.
c. Interjeksi
Secara semantis, interjeksi mengungkapkan rasa hati pembicara seperti rasa kagum,
sedih, dan heran. Untuk menyatakan betapa cantiknya seseorang, misalnya, kita
tidak hanya berkata, “Cantik sekali kau,” tetapi diaawali dengan kata seru atau
interjeksi aduh yang mengungkapkan perasaan kagum kita. Dengan demikian, kalimat
“Aduh, cantik sekali kau,” tidak hanya menyatakan fakta tetapi juga rasa hati
pembicara.
Secara sintaksis, interjeksi tidak bertalian dengan unsur kalimat yang lain.
Interjeksi mampu hadir secara mandiri dalam tutur tidak memerlukan pendampingan
konstituen lainnya.
(2) a. Masyaallah!
b. Masyaallah, seekor sapi berkepala lima!
(3) a. Amboi!
b. Amboi, sedap sekali masakan ini!
Kalimat (a) hanya memiliki satu konstituen, yakni interjeksi itu sendiri.
Kehadiran interjeksi tidak bergantung pada konstituen yang lain. Kalimat (b)
terdiri atas dua bagian. Pertama, bagian interjeksi. Kedua, bagian yang
mengungkapkan fakta. Kedua bagian itu tidak saling bergantungan. Masing-masing
mandiri secara semantis maupun sintaksis.
Secara morfologis interjeksi tidak mampu menjadi bentuk dasar dalam pembentukan
kata.
d. Artikula
Secara semantis, artikula adalah kata tugas yang membatasi makna nomina. Ada tiga
kelompok artikula, yaitu: artikula yang brsifat gelar, mengacu ke makna kelopok,
dan menominalkan.
Artikula yang bersifat gelar pada umumnya bertalian dengan orang atau hal yang
dianggap bermartabat. Jenis-jenis artikula ini adalah sang, sri, hang, dan dang.
Artikula yang mengacu ke makna kelompok atau makna kolektif adalah para. Karena
artikula itu mengisyaratkan ketaktunggalan makna nomina yang diiringinya tidak
dinyatakan dalam bentuk kata ulang.
Artikula yang menominalkan dapat mengacu ke makna tunggal atau generik,
bergantung pada konteks kalimatnya. Artikula itu adalah si.
(4) Aduh, kasihan si miskin itu mengais makanan dari tempat sampah.
(5) Dalam masa krisis si miskinlah yang selalu menderita.
Frasa si miskin dalam kalimat (4) menyatakan makna tunggal dan dalam kalimat (5)
menyatakan makna generik, yaitu kaum miskin.
Secara sintaksis, artikula terletak didepan nomina atau kata yang dinominalkan.
Artikula tidak pernah mengiringi nomina, tetapi selalu mendahuluinya.
Secara morfologis, artikula tidak mampu menjadi bentuk dasar dalam pembentukan
kata.
e. Partikel Penegas
Secara semantis, penegas merupakan kata tugas yang menyatakan penegasan dan
pengerasan arti. Penegasan dinyatakan oleh partikel -lah, -kah, -tah, dan
pengerasan arti kata dinyatakan oleh pun.
Secara sintaksis, partikel terletak setelah kelas kata lain yang diikutinya.
Secara morfologis, pertikel tidak mampu menjadi bentuk dasar dalam pembentukan
kata.

II. NOMINA DAN VERBA SEBAGAI PENGISI SUBJEK DAN PREDIKAT
Nomina dan verba merupakan kelas kata utama yang sangat dominan dalam penggunaan bahasa. Demikian pula subjek dan predikat merupakan fungsi sintaksis utama yang dominan dalam penggunaan bahasa. Setiap kali orang berbahasa cenderung menggunakan nomina dan verba atau dalam kerangka fungsi sintaksis subjek dan predikat. Nomina berkorelasi dengan subjek dan verba berkorelasi dengan predikat. Akan tetapi, apakah pengisi fungsi subjek selalu kategori nomina? Dan pengisi fungsi predikat selalu verba?
1. Nomina dan Subjek
Dalam bahasa Indonesia, nomina merupakan kelas kata yang mempunyai beberapa ciri. Berdasarkan bentuknya, nomina berupa kata dasar atau kata berimbuhan ke-an, per-an, dan -an (Keraf, 1991:57). Ciri bentuk ini tidak bersifat mutlak artinya ada kata yang berbentuk nomina namun bukan nomina.
(1) Dia anak yang pemalas.
(2) Pemalas cenderung mencari alasan untuk tidak mengerjakan tugas.
Pemalas pada kalimat (1) berdasarkan perilaku sintaksisnya merupakan kata sifat karena menjelaskan nomina. Sedangkan pemalas pada kalimat (2) cenderung berkategori nomina karena diikuti kata kerja.
Masih ada beberapa imbuhan yang berpotensi membantuk nomina, yaitu peng-an, peng-, dan per-. Imbuhan peng-an,ke-an, dan per-an berfungsi membentuk nomina abstrak. Sedangkan imbuhan peng-, pe-, dan –an membentuk nomina konkret.
Secara sintaksis, nomina merupakan kata yang berkedudukan sebagai subjek, objek, atau pelengkap di dalam kalimat yang predikatnya berupa kata kerja. Nomina tidak dapat diingkari dengan kata tidak. Bentuk ingkarnya adalah bukan. Ciri terakhir, nomina dapat diikuti adjektiva baik secara langsung maupun diantarai yang (Alwi, 2000,213).
Dalam hubungannya dengan analisis sintaksis yang berupa subjek, nomina mempunyai kaitan yang erat. Sebagian ahli berpendapat bahwa pengisi fungsi subjek adalah nomina, frasa nomina atau sesuatu yang dianggap nomina (Putrayasa, 2007:64).
(3) Mereka bergembira.
(4) Rumah itu bagus.
(5) Merokok merusak kesehatan.
Kalimat (3) merupakan contoh subjek yang berupa nomina, kalimat (4) memuat subjek yang berupa frasa nominal, dan klimat (5) merupakan contoh subjek yang berupa kata yang dianggap nomina.
Di dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa pengisi fungsi subjek pada umumnya adalah nomina, frasa nominal, atau klausa, bahkan sering juga berupa frasa verbal (Alwi,2000:327).
(6) Harimau binatang liar.
(7) Anak itu belum makan.
(8) Karyawan yang tidak ikut upacara akan ditindak.
(9) Berjalan kaki menyehatkan badan.
Ada perbedaan sudut pandang antara Putrayasa dan Alwi dalam melihat pengisi fungsi subjek khususnya yang berupa kata yang dianggap nomina (menurut Putrayasa) atau verba (menurut Alwi). Perbedaan ini tampak dalam tabel berikut.
Putrayasa
1. Secara semantis, dianggap nomina karena menyatakan makna hal/perihal (merokok).
2. Secara sintaksis dapat diingkari dengan bukan. Bukan merokok yang merusak kesehatan, tetapi...
3. Dapat diikuti adjektiva. Merokok yang sopan tidak di sembarang tempat.
Alwi:
1. Secara semantis, disebut verba karena menyatakan makna perbuatan (berjalan kaki).
2. Secara sintaksis dapat diingkari dengan tidak. Tidak berjalan kaki yang menyehatkan badan, tetapi...
3. Secara morfologis, afiks ber- atau meng- menghasilkan verba.
Sebenarnya masih ada satu cara lagi untuk mengidentifikasi nomina atau verba, yakni dengan valensi sintaksis. Pada umumnya verba dapat bervalensi dengan akan, belum, sedang, dan telah.
(10) Akan berjalan kaki menyehatkan badan. (?)
(11) Belum berjalan kaki menyehatkan badan. (?)
(12) Sedang berjalan kaki menyehatkan badan. (?)
(13) Telah berjalan kaki menyehatkan badan. (?)
Tampaknya ciri utama verba yang berkaitan dengan kemampuannya bervalensi dengan aspek tidak dapat diterapkan pada kalimat (9). Dengan demikian ada indikasi yang lebih kuat bahwa pengisi fungsi subjek adalah nomina atau kata yang dianggap nomina.
2. Verba dan Predikat
Ciri-ciri verba dapat dikeetahui dengan mengamati perilaku semantis, perilaku sintaksis, dan bentuk morfologisnya. Verba memiliki beberapa ciri yang membedakannya dengan kelas kata yang lainnya.
Pertama, verba memiliki fungsi utama sebagai predikat atau sebagai inti predikat dalam kalimat. Contoh :
(14) Anak itu tertawa.
(15) Mereka sedang belajar di kamar.
Kata yang dicetak miring dalam kalimat di atas adalah predikat. Verba belajar merupakan inti predikat dari bentuk sedang belajar.
Kedua, verba mengandung makna inheren perbuatan (aksi), proses, atau keadaan yang bukan sifat atau kualitas.
(16) Para siswa sedang bernyanyi bersama.
(17) Balon itu mengecil.
(18) Tanaman itu hidup lagi setelah turun hujan.
Sedang bernyanyi dalam kalimat (16) menyatakan makna aksi, mengecil (17) menyatakan proses, dan hidup (18) menyatakan keadaan.
Ketiga, verba khususnya yang menyatakan makna keadaan tidak dapat diberi prefiks ter- yang berarti “paling". Verba seperti hidup atau suka tidak dapat diubah menjadi terhidup atau tersuka.
Keempat, pada umumnya verba tidak dapat bergabung dengan kata-kata yang menyatakan makna kesangatan. Tidak ada bentuk seperti paling tertawa, agak bernyanyi, dan belajar sekali.
Dalam tindak berbahasa, orang lebih sering menggunakan verba sebagai predikat daripada beberapa kelas kata lainnya yang memang mampu sebagai pengisi predikat. Predikat kalimat biasanya berupa frasa verbal atau frasa adjektival. Pada kalimat yang berpola S-P, predikat dapat pula berupa frasa nominal, frasa numeral, atau frasa preposisional.
(19) Adik sedang tidur. (P=FV)
(20) Gadis itu cantik sekali. (P=FAdj)
(21) Ibunya seorang guru. (P=FN)
(22) Kakaknya tiga orang. (P=FNum)
(23) Paman sedang ke pasar. (P=FPrep)
Dengan demikian, verba bukanlah satu-satunya kategori kata yang mampu mengisi predikat.
Berdasarkan pengisi predikatnya, kalimat dibedakan menjadi dua, yaitu kalimat verbal dan kalimat nonverbal. Kalimat verbal merupakan kalimat yang predikatnya berupa verba atau frasa verbal. Kalimat (19) adalah contoh kalimat verbal. Sedangkan kalimat nonverbal adalah kalimat yang predikatnya bukan verba atau frasa verbal seperti kalimat (20-23) (kridalaksana, 1987:244).
Putrayasa (2007:1-3) dan Keraf (1991:190) menamai kalimat berdasarkan kategori pengisi predikatnya. Kalimat yang berpredikat verba disebut kalimat verbal. Kalimat nominal atau ekuasional berpredikat nomina,dan kalimat atributif atau adjektival berpredikat adjektiva. Termasuk juga kalimat yang berpredikat numeralia disebut kalimat numeral.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan dkk. 2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Keraf, Gorys. 1991. Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Grasindo.

Kridalaksana, Harimurti. 1987. Tata Bahasa Deskriptif Bahasa Indonesia: Sintaksis.
Jakarta: Proyek Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah.

Putrayasa, Ida Bagus. 2007. Analisis Kalimat: Fungsi, Kategori, dan Peran. Bandung:
PT Refika Aditama.

Putrayasa, Ida Bagus. 2007. Tata Kalimat Bahasa Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama.
KONSTRUKSI TEORI BELAJAR

A. PENDAHULUAN
Pembangunan dalam bidang pendidikan di negara kita terus ditingkatkan dari waktu kewaktu, baik kualitas maupun kuantitas. Peningkatan kualitas pendidikan yang menyangkut peningktan sarana dan prasarana termasuk di dalamnya adalah peningkatan sumber daya manusia. Peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah bagian penting untuk mendapat perhtian, khususnya yang berkaitan dengan para pengelola pendidikan dan para pendidik itu sendiri. Kemajuan suatu bangsa dapat dicapai melalui penataan pendidikan yang baik, upaya peningkatan mutu pendidikan itu diharapkan dapat menaikan harkat dan martabat manusia Indonesia. Untuk mencapai hal itu, pendidikan harus adaptif terhadap perubahan zaman yang selalu dinamis, secara berkelanjutan mengikuti siklus disesuaikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat. Berkaitan dengan peningkatan kualitas yang berhubungan dengan subyek pendidikan utamanya para pengelola dan pendidik/guru tersebut, salah satu syarat yang harus dimiliki oleh para subyek pendidikan adalah pemahaman mendalam tentang Konstruksi Teori Belajar.

B. PERMASALAHAN
Pendidikan di negara kita dirasakan belum adanya peningkatan yang pesat, bahkan terjadi kemerosotan. Untuk mengatasi hal tersebut perlu analisis kebutuhan terhadap minimal tiga dimensi yaitu :
1. Nilai-nilai yang diinginkan, nilai-nilai yang ada pengguna orang tua siswa dan nilai-nilai masyarakat.
2. Ciri-ciri dan karakteristik kebutuhan siswa.
3. Ciri dan karakteristik yang diinginkan oleh Pelaksana Pendidikan.

C. PEMBAHASAN
1. Analisis Kebutuhan Teori Belajar.
a. Intelegensi (kecerdasan) Verbal Linguistie
b. Intelegensi logis matematis
c. Intelegensi kinestetik
d. Intelegensi visual special
e. Integensi musik
f. Integensi interpersonal
g. Integensi intra personal
h. Pengembangan kurikulum multiple intelegensi
i. Penilaian yang meningkatkan hasil pembelajaran
( Metode Praktis Pembelajaran; Linda Campbell dkk. 2004 )
2. Pemantapan Makna Istilah Teori, Hipotesis, Model, Konstruk, Hukum dan Prinsip.
a. Makna Istilah Hipotesis
Setelah peneliti mengadakan penelaahan secara mendalam terhadap berbagai sumber untuk menemukan anggapan dasar maka langkah berikutnya adalah merumuskan hipotesis. Agar dapat lebih mudah dipahami pengertian ini perlu dikutipkan pendapat Prof. Drs. Hadi Sutrisno, MA. Tentang pemecahan masalah sering kali peneliti tidak dapat memecahkan permasalahannya dengan sekali jalan. Permasalahan itu akan diselesaikan segi demi segi dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk tiap segi, dan mencari jawaban melalui penelitian yang dilakukan.
Jawaban atas permasalahan ini dibedakan ada 2 hal sesuai dengan taraf pencapaiannya :
- Jawaban permasalahan yang berupa kebenaran pada taraf teoritik dicapai melalui membaca.
- Jawaban permasalahan yang berupa kebenaran pada taraf praktek dicapai setelah penelitian selesai, yaitu dengan pengolahan terhadap data.
Sehubungan dengan pembahasan pengertian diatas maka hipotesis dapat diartikan sebagai suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian sampai terbukti melalui data yang terkumpul.
Dari arti katanya Hipotesis berasal dsari penggalan kata “hipo” yang artinya dibawah, “thesa” yang artinya kebenaran. Jadi hipotesis yang kemudian cara menulisnya disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia menjadi hipotesa, dan berkembang menjadi hipotesis.
Apabila seorang peneliti telah mendalami penelitiannya dengan seksama serta menetapkan anggaran dasar, lalu membuat teori sementara yang kebenarannya masih perlu diuji (dibawah kebenaran). Inilah hipotesis peneliti harus berfikir bahwa hipotesisnya itu dapat diuji selanjutnya peneliti akan bekerja berdasarkan hipotesis ini. Peneliti mengumpulkan data-data yang terkumpul akan menguji apakah hipotesis yang dirumuskan dapat naik status menjadi “teas” atau sebaliknya tumbang sebagai hipotesis, apabila ternyata tidak terbukti. Hal yang perlu diperhatikan oleh peneliti adalah bahwa ia tidak boleh mempunyai keinginan kuat agar hipotesanya terbukti dengan cara mengumpulkan data yang hanya bisa membantu memenuhi keinginannya atau memanipulasi data sedemikian rupa sehingga mengarah keterbuktian hipotesis. Peneliti harus bersifat obyektif terhadap data yang terkumpul. (Prosedur Penelitian; Suharsimi Arikunto, 2002).
b. Makna Istilah Model
Secara khusus istilah “model” diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu kegiatan, dalam pengertian lain “model” juga diartikan sebagai barang atau benda tiruan dari benda yang asli/sesungguhnya, seperti “globe” model dari bumi tempat tinggal kita hidup, dalam uraian selanjutnya model digunakan untuk menunjukkan pengertian yang pertama sebagai kerangka konseptual. Atas dasar pemikiran tersebut maka yang dimaksud dengan model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktifitas belajar mengajar. Dengan demikian aktifitas belajar mengajar benar-benar merupakan kegiatan bertujuan yang tertata secara sistematik.
Dalam rangka pemanfaatan model yang telah ada Bruce Joyce dan Marsha Weil (1986) telah menyajikan berfungsi model belajar mengajar yang telah dikembangkan dan ditest keberlakuan oleh para pakar kependidikan. Walaupun judul buku yang memuat tentang model-model tersebut adalah “Models of teaching” akan tetapi isinya secara mendasar bukan semata-mata menyangkut kegiatan guru mengajar, akan tetapi justru lebih menitik beratkan pada akktivitas murid. Sebagaimana ditegaskan oleh Bruce Joyce dan Marsha Weil (1986), hakekat mengajar atau “teaching” adalah membantu para pelajar memperoleh informasi, ide, ketrampilan, nilai, cara berfikir sarana untyuk mengekspresikan dirinya, dan cara belajar bagaimana belajar. Dalam kenyataan sesungguhnya hasil akhir atau hasil jangka panjang dari proses belajar mengajar ialah “……….. the student’s inereased capabilities to learn more casily and effectively in the future.
Kemampuan siswa yang tinggi untuk dapat belajar lebih mudah dan lebih efektif dimasa yang akan datang (Bruce Joyce & Marsha Weil, 1986:1) karena proses belajar mengajar tidak hanya memiliki makna deskriptif dan kekinian, akan tetapi juga bermakna prospektif dan berorientasi masa depan (Teori Belajar dan Model model Pembelajaran ; Toeti Soekamto, dkk.1997).
c. Makna Istilah Konstruk
Istilah kostruk dalam pendidikan dan pembelajaran dapat dimaknai sebagai kerangka acuan pembelajaran agar dapat berjalan sesuai dengan yang direncanakan yang mengacu pada aturan perundang-undangan yang berlaku, mulai dari kurikulum pendidikan sampai pada tingkat rencana pembelajaran dan evaluasi.
d. Makna Istilah Hukum
Tujuan pendidikan nasional sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 alinea keempat bahwa Pemerintah Republik Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, selain melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Maka istilah hukum dalam pendidikan merupakan landasan atau dasar sekaligus sebagai payung untuk pelaksanaan pendidikan, sebagaimana batang tubuh UUD 1945, pasal 31 ayat (1) disebutkan bahwa warga Negara berhak mendapatkan pendidikan, sedangkan pada ayat (2) dinyatakan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang.
e. Makna Istilah Prinsip.
Banyak teori dan prinsip prinsip belajar yang dikemukakan oleh para ahli yang satu dengan yang lain memiliki persamaan dan perbedaan, dari berbagai prinsip belajar tersebut, terdapat beberapa prinsip yang relative berlaku umum yang dapat kita pakai sebagai dasar dalam upaya pembelajaran, baik bagi siswa yang perlu meningkatkan upaya belajarnya maupun bagi guru dalam upaya meningkatkan mengajarnya. Prinsip prinsip itu berkaitan dengan perhatian dan motivasi, keaktifan, keterlibatan langsung/berpengalaman pengulangan tantangan balikan dan penguatan serta perbedaan individual. (Belajar dan Pembelajaran; Dimyati dkk, Rinika Cipta 2002).
3. Konstruksi dan Teori Belajar.
a. Dalam merancang pembelajaran selalu mendasrakan pada aturan seperti UUD 1945 dan aturan Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional merupakan peraturan induk dari peraturan perundang undangan pendidikan yang mengatur pendidikan pada umumnya, artinya segala sesuatu yang bertalian dengan pendidikan mulai dari prasekolah sampai dengan pendidikan tinggi ditentukan dengan undang undang.
b. O’Connor; mendifinisikan kata “teori” sebagaimana digunakan dalam konteks pendidikan secara umum adalah sebuah tema yang apik, teori yang dimaksudkan hanya dianggap abash manakala kita tetapkan hasil hasil eksperimental yang dibangun dengan baik dalam bidang psikologi atau sosiologi hingga sampai kepada praktek kependidikan.
4. Fungsi Teori Belajar.
a. Teori Belajar Klasik/Tradisional
1) Teori ganjaran/hukuman
2) Perubahan fakta
3) Hasil belajar permanent
4) Rangsangan dari luar
5) Teori transfer otomatis
6) Teori kerja keras
b. Teori Modern
1) Teori Asosiasi
2) Teori Kognisi
3) Teori Mengkondisi.

D. PENUTUP
Setelah mengkaji masalah dalam pembasahan Konstruksi Teori Belajar dapat ditarik kesimpulan :
1. Pendidikan adalah proses yang bertumpu kepada tujuan. Pendidikan yang dimaksudkan biasanya memprakarsai produk atas orang-orang yang mewariskan pola pola tingkah laku tertentu, berdasarkan konstruksi teori belajar tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Setiap situasi pendidikan, oleh karenanya harus disesuaikan dengan penjabaran tujuan tujuan khusus, informasi yang relevan berkenaan dengan pengalaman pengalaman yang digambarkan sebagai materi pendidikan, serta metode metode pembelajaran yang baik sehingga proses belajar mengajar dapat terlaksana dengan efektif dan efisien.
2. Pendidikan di negara Indonesia pada umumnya belum mendasarkan kepada analisis kebutuhan nilai nilai yang ada pada pengguna orang tua siswa, nilai nilai masyarakar, ciri dan karakteristik yang diinginkan oleh pelaksana pendidikan.
Analisis yang mendalam dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan sangat diperlukan, maka dalam segala aspek harus mendasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, kepedulian para ahli dalam bidang pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Linda Campbell, dkk 2004; Metode Praktis Pembelajaran
2. Toeti Soekamto, dkk 1997; Teori Belajar dan Motode-metode Pembelajaran
3. Suharsimi Arikunto, 2002; Prosedur Penelitian
4. Dimjati dkk, Rinika Cipta 2002; Belajar dan Pembelajaran
KLITIK DAN MORFEM DASAR TERIKAT

KLITIK

Klitik adalah morfem terikat yang memiliki makna leksikal. Klitik bisa melekat depan kata pangkalnya, disebut proklitik. Klitik juga bisa melekat belakang kata pangkalnya, disebut enklitik.

Contoh Proklitik (Klitik dan Kata Turunan)
swa- = swalayan
ekstra- = ekstraketat
maha- = mahaadil
ku- = kuambil
kau- = kauambil
anti- = antikekerasan
dwi- = dwitunggal
tri- = tridarma
catur- = caturwarga
panca- = pancausaha (tani)
dasa- = dasadarma
nir- = nirlaba
a- = amoral
ab- = abnormal
antar- = antardesa
bi- = bikarbonat
nara- = narasumber
infra- = inframerah
multi- = multiguna
purna- = purnatugas
pra- = prasejarah
semi- = semiprofesional
non- = nonkolaborasi

Contoh Enklitik (Klitik dan Kata Turunan)
-ku = bukuku
-mu = sikapmu
-nya = katanya
-isme = monoisme

MORFEM DASAR TERIKAT

Morfem dasar terikat adalah morfem yang memilki makna leksikal, tetapi secara gramatikal tidak mampu berdiri sendiri, selalu melekat dengan morfem lain, baik morfem afiks maupun klitik.

Contoh Morfem Terikat (Morfem Dasar Terikat dan Kata Turunannya)
sandar = bersandar, sandaran, disandarkan
perhati = perhatian, diperhatikan, memperhatikan
kendara = dikendarai, mengendarai, kendaraan
juang = perjuangan, diperjuangkan
lantar = terlantar, lantaran
cantum = mencantumkan, dicantumkan
guna = berguna, digunakan, menggunakan
hubung = hubungan, berhubungan, sehubungan
tutur = tuturan, penutur, menuturkan
layan = layanan, pelayanan, dilayani
langgan = langganan, berlangganan, pelanggan
landas = landasan, berlandaskan, melandasi
jabar = menjabarkan, dijabarkan, jabaran
tunjang = tunjangan, menunjang, ditunjang
kandung = kandungan, mengandung, terkandung
tuju = tujuan, tertuju, bertujuan
temu = menemukan, bertemu, ditemukan
alir = mengalir, mengalirkan, dialirkan
baur = membaur, berbaur
inap = menginap, penginapan
anjak = beranjak
dekam = mendekam
bincang = memperbincangkan, perbincangan
elak = mengelak, dielakkan, terelakkan
anjur = menganjurkan, anjuran, dianjurkan
acu = mengacu, acuan, beracuan
aju = mengajukan, ajuan, diajukan
baring = membaringkan, dibaringkan, berbaring
ANALISIS UNSUR LAHIR PUISI
“DI BAWAH KAKI KEBESARAN-MU” KARYA AOH KARTAHADIMADJA

A. Dasar Analisis
Puisi dalam pengertian lama adalah karangan yang terikat oleh syarat-syarat puisi, seperti korespondensi dan periode (Sugiarta, 1984 : 117). Korespondensi adalah kesepadanan atau perilangan bunyi, irama, atau rima. Periode adalah kumpulan kalimat yang memiliki hubungan batin yang erat, baik eksplisit maupun implisit. Kalimat-kalimat tersebut bisa lepas satu sama lain, tetapi masih membentuk kesatuan dalam melukiskan suasana.
Puisi memiliki unsur lahir dan unsur batin. Unsur lahir puisi seperti rima, majas, tipografi, dan nada. Unsur batin puisi seperti tema, amanat, dan nilai-nilai. Baik unsur lahir, maupun unsur batin akan membangun keutuhan sebuah puisi.
Pada kesempatan ini analisis puisi ditekankan pada penggunaan majas dalam puisi “Di Bawah Kaki Kebesaran-Mu” karya Aoh Kartahadimadja. Majas yang dimaksud adalah metafora. Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat (Keraf, 1987 : 139)

B. Analisis Puisi
1. Teks Puisi
DI BAWAH KAKI KEBESARAN-MU
Karya : Aoh Kartahadimadja
I
Aku lenyap dalam “tiada”
Hanya engkau jua memenuhi ruangan yang tak berufuk
Gerakan yang ada padaku, suara yang keluar dari
rahangku hanya mengenangkan kebesaran-Mu jua, ya
Maha Pencipta
II
Aku sujud di bawah duli kaki-Mu
Rasa yang masih ada padaku bangga akan diri
yang hina ini, Tuhanku, hanyutkan segera
bersama lumpur yang lekat padaku!

Aku rangkaikan kata, aku susun seindah dapat
hanya untuk Engkau semata
Nama-Mu hanya tercapak di Langit-Indah tempat
insan menadahkan harap akan rakhmat yang tak
terbatas.
III
Memercik air mengintan permata, girang agaknya
dipakai bersuci
Berdandan sowka rambut gerangan hinggap
tak terseka
V
Sebagai itu, ya Tuhanku, cahaya-Mu dahulu
menyingsing teram-temaram.
Kasih-Mu jua langit gelap berangsur terang.
Kini alam dicelup cahaya; daun-daunan
melambai perak dalam ayunan hembusan sorga
VI
Intan petaruh-Mu akan kujaga baik-baik, ya Rabbi.
Debu yang hinggap dalam kelalaianku akan kugosok
seberapa dapat, sehingga indah cemerlang kukembalikan
di tangan-Mu kelak.
VII
Kalau yang kulihat indah sudah, betapa besar hasrat
melihat negeri orang yang katanya lebih indah dari
negeriku
Ya, Rabbi, bukan kepalang hsratku demi kudengar
kata-Mu tempat Engkau menyambut tentara-Mu ialah
yang terindah dalam seluruh ciptaan-Mu!
VIII
Licin, gelap, menurun dan mendaki jalan menuju
Engkau.
Akh, mengapa sesusah itu jalan ke tempat Engkau
bertakhta, ya Tuhan segala?
Di manakah Engkau sebentar dekat, sebentar jauh?
Aku rindu ..... Tuhanku. Sinarkanlah pula
cahaya-MU kini!
IX
Layang kencana kudapat di malam sepi.
Betapa sayang Engkau, Tuhanku, idaman lama ’lah
kucari, kini terkembang nyata.
Akan kuukir pualam untuk hiasan Ibu menghadap
Dikau!
X
Kelam udaraku keliling; langit harapan melengkung
hitam.
Hati pedih teriris-iris.
Kuserukan Engkau “Maha Pengampun”.
Tak adalah sungguh Engkau memanggil aku membela
benteng budi, anugerah yang Engkau limpahkan
kepada insani?
XI
Hariku yang ada masih, o, Gantungan segala makhluk,
biarlah suci mengenagkan Dikau senantiasa.
Dari mataku akan terpancar mata air tauhid.
Nafasku kan meng hembuskan ucapan syukur.
Tentram damai di dalam biarpu taufan di luar
hebat dahsyat.
XII
Kalau hendak aku turutkan suara hati aku pun ingin
mengawang ke langit-bintang.
Tetapi taman-Mu kulihat penuh semak belukar. Tak
sampai hatiku, ya Khalik, meninggalkan tanaman
yang Engkau petaruhkan kepada ibuku.
Biarlah aku menjadi tukang kebun-Mu selama-lama .....
Kini siapa yang akan duduk di sampingku
tak menjadi soal lagi.
Hati retak sudah terpulih, darah menetes
sudah kering pula.
Aku sujud di bawah kaki-Mu. Tuhan, dan segala
duka hilang lenyap disapu hembusan-Mu.


2. Analisis Metaforis Puisi
Jika puisi di atas dianalisis berdasarkan penggunakan majas metafora, maka akan didapatkan beberapa kata atau frasa yang menggunakan majas metafora tersebut. Berikut ini beberapa kata atau frasa yang menggunakan majas metafora, yaitu:
a. Ruangan pada baris /Hanya Engkau memenuhi ruangan yang tak berufuk/ tentu maksudnya bukan ruangan dalam arti sebenarnya, Ruangan dalam baris tersebut untuk membandingkan kekuasaan dan tak berufuk maksudnya tak ada batasnya. Engkau, Tuhan, memiliki kekuasaan yang tidak ada batasnya.
b. Baris /Aku sujud di bawah duli kaki-Mu/ juga memiliki metaforis. Kata kaki dalam baris tersebut digunakan untuk membandingkan tempat berpijak. Manusia sebagai makhluk yang ”rendah” di hadapan Tuhan selalu sujud, patuh, dan tunduk kepadan-Nya.
c. Kata lumpur pada baris /bersama lumpur yang lekat padaku/ adalah metafora dosa yang selalu ada pada manusia. Manusia hanya bisa memohon ampun kepada Tuhan untuk menghapus dosa, hanyut segera bersama lumpur yang lekat padaku.
d. Baris /Memercik air mengintan permata/ sebagai metafora wudu adalah sesuatu yang bisa membuat sedap jika dipandang. Berwudu adalah salah satu bersuci. Suci artinya bersih. Sesuatu yang bersih itu sedap dipandang mata.
e. Kata cahaya-Mu dalam baris /..., cahaya-Mu dahulu menyingsing .../ membanding kan petunjuk hidup. Cahaya menerangi orang yang beraktivitas di bumi. Cahaya-Mu adalah petunjuk hidup manusia agar kelak tidak tersesat.
f. Debu adalah metafora dosa kecil. /Debu yang hinggap dalam kekalalianku akan kugosok .../. akan kugosok maksudnya adalah mohon ampunan pada Tuhan.
g. /Licin, gelap, menurun dan mendaki jalan menuju Engkau/ adalah metaforis perjalanan hidup yang penuh cobaan dan rintangan.
h. Baris /benteng budi, anegerah yang Engkau limpahkan kepada insani?/ memiliki metafora pada frase benteng budi. Benteng budi maksudnya adalah pertahanan, berupa iman, dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik. Sehingga manusia selalu berbuat kebaikan.

C. Penutup
Analisis puisi ini adalah analisis sederhana. Oleh karena itu, analisis puisi ini masih banyak kekurangan. Selain itu, pengetahuan penulis yang masih kurang juga sebagai pengaruh pada kekurangan analisis puisi ini. Penulis berharap pembaca bersedia memberikan saran dan kritik untuk kesempurnaan analisis puisi.

D. Daftar Pustaka
Keraf, Gorys. 1987. Diksi dan Gaya Bahasa, Komposisi Lanjut I. Jakarta : Gramedia
Natawidjaja, S. Suparman. 1980. Apresiasi Sastra dan Budaya. Jakarta : PT Intermasa

Soegiarta. 1984. Glosaria, Istilah Bahasa dan Sastra. Solo : Intan
SYAIR ABUNAWAS

Ya Tuhanku, tidak pantas bagiku menjadi penghuni surga-Mu
Namun, aku tidak kuat dengan panasnya api neraka
Terimalah taubatku dan ampunilah dosa-dosaku
Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dosa-dosa besar
Dosaku seperti jumlah pasir
Maka terimalah pengakuan taubatku Wahai Pemilik Keagungan
Dan umurku berkurang setiap hari
Dan dosaku bertambah, bagaimana aku menanggungnya
Ya Tuhanku, hamba-Mu yang berdosa ini datang kepada-Mu
Mengakui dosa-dosaku dan telah memohon pada-Mu
Seandainya Engkau mengampuni
Memang Engkaulah Pemilik Ampunan
Dan seandainya Engkau menolak taubatku
Kepada siapa lagi aku memohon ampunan selain hanya kepada-MU

Syair Abu Nawas
AL-I'TIROOF