Jumat, 01 Januari 2010

Analisis Puisi “Kau Bukan Israil” dalam Kumpulan Puisi ”Surat untuk Ayah” (Tinjauan Struktural dan Semiotik)

By: Ignatius Purnomo

1. Pendahuluan
Teori struktural dan semiotik pada dewasa ini merupakan salah satu teori sastra (kritik sastra) yang terbaru di samping teori estetika resepsi dan dekonstruksi. Akan tetapi, teori ini belum banyak dimanfaatkan dalam bidang kritik sastra di Indonesia. Pada umumnya kritik sastra atau apa yang dinamakan kritik sastra di Indonesia dewasa ini masih mempergunakan teori-teon sastra (kritik) yang lama, yang sudah ketinggalan dalam perkembangan kemajuan studi sastra pada umumnya (Pradopo, 1995:140).
Oleh karena itu, dalam pembicaraan ini dicoba untuk menerapkan teori tersebut dalam menganalisis puisi Indonesia untuk turut memperkembangkan studi sastra dalam kesusastraan Indonesia modern. Teori struktural dan semiotik (Pradopo, 1995:140) merupakan teori kritik sastra objektif.
Dikemukakan Abrams (1971:3-29) bahwa ada empat pendekatan terhadap karya sastra, yaitu pendekatan (1) mimetik yang menganggap karya sastra sebagai tiruan alam (kehidupan) (2) pendekatan pragmatik yang menganggap karya sastra itu adalah alat untuk mencapai tujuan tertentu; (3) pendekatan ekspresif, yang menganggap karya sastra sebagai ekspresi perasaan, pikiran, dan pengalaman penyair (sastrawan); dan (4) pendekatan objektif yang menganggap karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, terlepas dari alam sekitarnya, pembaca, dan pengarang. Maka dalam kritik ini yang penting adalah karya sastra itu sendiri, yang khusus dianalisis struktur intrinsiknya.
Kritik objektif ini timbul sekitar tahun 1920 dengan tampilnya kaum Kritikus Baru (New Critics) dari Miran Chicago (Chicago School), dan kaum Formalis Eropa (Abrams,1971:37). Sepanjang sejarahnya kritik objektif ini mendapat reaksi-reaksi dan mengalami perbaikan dan penyempurnaan hingga kemudian para kritikus objektif sekarang ini disebut oleh Hawkes (dalam Pradopo, 1995:141) sebagai golongan Kritikus Baru yang Baru (New New Critics) yang lebih menyempurnakan teori-teori kritik sastra dan penerapan kritik sastra objektif. Di antaranya ialah teori struktural dan semiotik.

2. Landasan Teoretik
a. Analisis Struktural
Menganalisis sastra atau mengkritik karya sastra (puisi) itu adalah usaha menangkap makna dan memberi makna kepada teks karya sastra puisi (Hardjana, 1983:10). Karya sastra itu merupakan struktur makna atau struktur yang bermakna. Hal ini mengingat bahwa karya sastra itu merupakan sistem tanda yang mempunyai makna yang mempergunakan medium bahasa. Untuk menganalisis struktur sistem tanda ini perlu adanya kritik struktural untuk memahami makna tanda-tanda yang terjalin dalam sistem (struktur) tersebut. Ilmu pengetahuan tentang tanda ini disebut semiotik (Abrams, 1971:170). Oleh karena itu, analisis semiotik itu tak dapat dipisahkan oleh analisis struktural.
Analisis struktural ini merupakan prioritas pertama sebelum yang lain-lain (Teeuw, 1983:61), tanpa itu kebulatan makna intrinsik yang hanya dapat digali dari karya itu sendiri, tidak akan tentangkap. Makna unsur-unsur karya sastra hanya dapat dipahami dan dinilai sepenuhnya atas dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur itu dalam keseluruhan karya sastra.
Karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks. Karena itu, untuk memahami karya sastra (puisi) haruslah puisi dianalisis (Hardjana, 1983:12) Namun, sebuah analisis yang tak tepat hanya akan menghasilkan kumpulan fragmen yang tak saling berhubungan. Unsur-unsur sebuah koleksi bukanlah bagian-bagian yang sesungguhnya. Maka, dalam analisis puisi bagian itu haruslah dapat dipahami sebagai bagian dan keseluruhan. Sajak itu adalah struktur yang merupakan susunan keseluruhan yang utuh. Antara bagian-bagiannya saling erat berhubungan (Pradotokusumo, 2005:37-38). Tiap unsur dalam situasi tertentu tidak mempunyai arti dengan sendirinya, melainkan artinya ditentukan oleh hubungannya dengan unsur-unsur lainnya yang terlibat dalam situasi itu. Makna penuh suatu satuan atau pengalaman dapat dipahami hanya jika terintegrasi ke dalam struktur yang merupakan keseluruhan dalam satuan-satuan itu. Antara unsur-unsur struktur itu ada koherensi atau pertautan erat; unsur-unsur itu tidak otonom, melainkan merupakan bagian dan situasi yang rumit dan dari habungannya dengan bagian lain, unsur itu mendapatkan artinya. Jadi, untuk memahami sajak, haruslah diperhatikan jalinan atau pertautan unsur-unsurnya sebagai bagian dari keseluruhan.

b. Analisis Semiotik
Semiotik (semiotika) adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu inempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang mernungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam lapangan kritik sastra, penelitian semiotik meliputi analisis sastra sebagai sebuah penggunaan bahasa yang bergantung pada (ditentukan) konvensi-konvensi tambahan dan meneliti ciri-ciri (sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus) wacana mempunyai makna (Preminger, dkk., 1974: 980).
Studi sastra bersifat semiotik adalah usaha untuk menganalisis sastra sebagai suatu sistem tanda-tanda dan menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai arti. Dengan melihat variasi-variasi di dalam struktur-dalam atau hubungan dalamnya, akan dihasilkan bermacam-macam arti; kritikus menyendirikan satuan-satuan berfungsi dan konvensi-konvensi sastra yang berlaku (Preminger dkk,1974:981). Dikemukakan Preminger lebih lanjut (1974:981) bahwa puisi adalah sistem semiotik tingkat kedua yang mempergunakan sistem semiotik tingkat pertama yang berupa bahasa tertentu. Sistem tanda tingkat pertama itu diorganisasikan sesuai dengan konvensi-konvensi tambahan yang memberi arti-arti dan efek-efek yang lain dan yang dimiliki prosa biasa. Tugas semiotik puisi adalah membuat eksplisit asumsi-asumsi implisit yang menguasai produksi arti dalam puisi.
Analisis semiotik itu tak dapat dipisahkan dari analisis struktural, dan sebaliknya (Junus,1981:17). Bagian-bagian (unsur-unsur) karya sastra itu mempunyai makna dalam hubungannya dengan yang lain dan keseluruhannya. Alasannya adalah karya sastra itu merupakan stuktu tanda-tanda yang bermakna. Tanda memperhatikan sistem tanda, tanda dan maknanya, dan konvensi tanda, struktur karya sastra (atau puisi) tidak dapat dimengerti maknanya secara optimal. Oleh karena itu, strukturnya harus dianalisis dan bagian-bagiannya yang merupakan tanda-tanda yang bermakna dalamnya harus dijelaskan.
Tokoh yang dianggap pendiri semiotik adalah dua orang yang hidup sezaman, yang bekerja secara terpisah dan dalam apangan yang tidak sama (tidak saling mempengaruhi), yang seorang ahli linguistik yaitu Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan seorang ahli filsafat yaitu Charles Sander Peirre (1839-1914). Saussure menyebut ilmu itu dengan nama semiologi, sedang Pierre menyebutnya semiotik (semiotics). Kemudian nama ini sering dipergunakan berganti-ganti dengan pengertian yang sama. Di Perancis dipergunakan nama semiologi untuk ilmu itu, sedang di Amerika lebih banyak dipakai nama semiotik.
Semiotik adalah ilmu tanda-tanda. Tanda mempunyai dua aspek yaitu petanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh, penanda itu yaitu artinya. Contohnya kata ‘ibu’ merupakan tanda berupa satuan bunyi yang menandai arti: ‘orang yang melahirkan kita’ (Pradopo, 1995:119).
Tanda itu tidak hanya satu macam saja, tetapi ada beberapa berdasarkan hubungan antara penanda dan petandanya. Jenis-jenis tanda yang utama ialah ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan yang bersifat alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan itu adalah hubungan persamaan, misalnya gambar kuda sebagai penanda yang menandai kuda (petanda) sebagai artinya. Potret menandai orang yang dipotret, gambar pohon menandai pohon.
Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal (sebab-akibat) antara penanda dan petandanya, misalnya asap menandai api, alat penanda angin menunjukkan arah angin, dan sebagainya.
Simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya, hubungannya bersifat arbitrer (semau-maunya). Arti tanda itu ditentukan oleb konvensi. ‘Ibu’ adalah simbol, artinya ditentukan oleh konvensi masyarakat bahasa (Indonesia). Orang Inggris menyebutnya mother, Perancis menyebutnya Ia mere, dsb. Adanya bermacam-macam tanda untuk satu arti itu menunjukkan “kesemena-menaan’ tersebut. Dalam bahasa, tanda yang paling banyak digunakan adalah simbol.
Perlu diperhatikan, dalam penelitian sastra dengan pendekatan semiotik, tanda yang berupa indekslah yang paling banyak dicari (diburu), yaitu berupa tanda-tanda yang menunjukkan hubungan sebab-akibat (dalam pengertian luasnya). Misalnya, dalam penokohan, seorang tokoh tertentu, misalnya dokter (Tono dalam Belenggu karya Armijn Pane) dicari tanda-tanda yang memberikan indeks bahwa ia dokter. Misalnya Tono, ia selalu mempergunakan istilah-istilah kedokteran, alat-alat kedokteran, mobil bertanda simbol dokter, dan sebagainya.
Supriyanto (2007:5-9) dengan tegas membedakan antara teks dengan naskah. Teks bersifat abstrak sementara naskah riil. Naskah memuat teks. Oleh karena itu, analisis semiotik sebuah karya sastra bermula dari pemahaman naskah (pembacaan heruistik) untuk mencapai tingkat makna atau teks (pembacaan hermeneutik).

3. Analisis Puisi
“Kau Bukan Israil”dalam Kumpulan Puisi Ratih Sang yang berjudul Surat untuk Ayah, 2006, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, halaman 30-31. (Tinjauan Struktural dan Semiotik)

Kau Bukan Israil

Jangan kau aniaya badanmu
Selain kau mendapatkan izin
Dari yang menciptakan badanmu
karena Dia menciptakan
Badanmu selama 9 bulan 10 hari
Agar ragamu sempurna

Kesempurnaan ....
Tidak hanya jari lima di satu tangan,
Tidak hanya dua mata, satu hidung, satu mulut dalam satu wajah
Tetapi lebih daripada itu
Kesempurnaan milyaran sel dan ratusan alat-alat
Dalam ragamu yang membuat hidup

Kesempurnaan itu begitu paripurna
Tak akan pernah bisa terbayangkan
Cara membuat kesempurnaan itu
Apalagi mencoba melakukannya

Jangan kau aniaya dan coba kau paksa lepas ruhmu
Karena ruh diciptakan olehNya
Jauh sebelum ragamu terciptakan
Ruhmu tersimpan dalam arsyNya
Dan hanya Dialah yang berhak meminta keluar dari ragamu
Begitu cintanya Dia padamu
Tak tega Dia mencabut nyawamu
Dia mengirimkan malaikat Israil untuk mengambilnya

Jangan kau putuskan asamu
Asa itulah yamg membedakanmu
Dengan makhluk lain yang juga bernyawa

Apalagi untuk alasan yang tak terlalu berharga
Karena yang berharga adalah
Cintamu pada Allah
Yang tanpa izinNya jantungmu tak berdenyut
Yang tanpa RahmanNya, engkau tak bisa
Memelihara anak-anakmu dalam rahimmu

Janganlah kau putus asa
Karena Allah tak pernah putus asa
Untuk mengharapkan engkau menghamba padaNya
Meski kau dalam lupa
Meski kau dalam khianat
Dia tetap mengharapkanmu
Jakarta, 14 Juni 2005


a. Pembacaan Heuristik
Dalam pembacaan heuristik ini puisi dibaca berdasarkan struktur kebahasaannya.


Kau bukan Israil
Bait 1
Jangan kau aniaya badanmu, selain (kecuali) kau mendapatkan izin
dari yang menciptakan badanmu (Tuhan) karena Dia (Tuhan) menciptakan badanmu selama 9 bulan 10 hari agar ragamu sempurna
Bait 2
Kesempurnaan itu tidak hanya jari lima di satu tangan, tidak hanya dua mata, satu hidung, satu mulut dalam satu wajah, tetapi lebih daripada itu. Kesempurnaan milyaran sel dan ratusan alat-alat dalam ragamu yang membuat hidup.
Bait 3
Kesempurnaan itu begitu paripurna (sangat sempurna) . Tak akan pernah bisa terbayangkan cara membuat kesempurnaan itu, apalagi mencoba melakukannya.
Bait 4
Jangan kau aniaya dan coba kau paksa lepas ruhmu karena ruh diciptakan olehNya (Tuhan) jauh sebelum ragamu terciptakan Ruhmu tersimpan dalam arsyNya (tahta atau singasana Tuhan). Dan hanya Dialah yang berhak meminta keluar dari ragamu. Begitu cintanya Dia padamu, Tak tega Dia mencabut nyawamu. Dia mengirimkan malaikat Israil untuk mengambilnya
Bait 5
Jangan kau putuskan asamu. Asa itulah yamg membedakanmu dengan makhluk lain yang juga bernyawa.
Bait 6
Apalagi untuk alasan yang tak terlalu berharga karena yang berharga adalah cintamu pada Allah.Yang tanpa izinNya jantungmu tak berdenyut. Yang tanpa RahmanNya, engkau tak bisa memelihara anak-anakmu dalam rahimmu.
Bait 7
Janganlah kau putus asa karena Allah tak pernah putus asa untuk mengharapkan engkau menghamba padaNya. Meski kau dalam lupa, meski kau dalam khianat, Dia tetap mengharapkanmu.


b. Pembacaan Hermeneutik
Judul puisi ”Kau bukan Israel” sebuah judul yang mengandung rujukan tak jelas. Pertama, Siapakah yang dimaksud kau? Kau merupakan kata ganti orang kedua tunggal yang memiliki nuansa kedekatan personal dengan orang pertama aku (pengarang Ratih Sang) dan berkonotasi positif (bandingkan dengan kata kamu). Dalam konteks bahwa puisi ini merupakan bagian dari seluruh kumpulan puisi ”Surat untuk Ayah” kiranya tepat bahwa kau yang dimaksud adalah ayah. Namun, dalam konteks kekinian lepas dari analisis sinkronis sastra, kau bisa bermakna orang/manusia/para pembaca. Kedua, frase ”bukan Israel” bisa ditafsirkan sebuah negara atau bangsa selain negara atau bangsa Israil., misalnya Indonesia, Amerika, dan lain sebagainya. Namun, kata Israil di sini bisa ditafsirkan secara lebih mendalam melalui tafsir alkitabiah. Israil adalah sebuah bangsa yang dipilih Allah dalam karya penyelamatan manusia. Sebuah bangsa yang dibebaskan dari perbudakan dan penjajahan bangsa Romawi. Sebuah bangsa yang diberkati oleh Allah. Sebuah bangsa yang suci, bebas dari belenggu dosa, dan penuh kesempurnaan. Dengan demikian, judul ”Kau bukan Israil” bermakna manusia yang penuh dengan dosa.
Puisi ”Kau bukan Israil” terdiri atas tujuh bait yang dapat dipilah menjadi tiga pokok pikiran. Pokok pikiran pertama adalah larangan untuk melakukan penganiayaan badan. Hal ini terdapat pada bait 1, 2, dan 3. Pokok pikiran kedua adalah larangan penganiayaan ruh dan pencobaan bunuh diri. Hal ini terdapat pada bai ke-4. Pokok pikiran ketiga adalah larangan untuk berputus asa. Hal ini terdapat pada bait 5, 6, dan 7. Masing-masing pokok pikiran diuraikan secara kausatif dengan argumentasi yang sangat mendasar.
Manusia tidak diperkenankan menganiaya badannya selain mendapatkan izin dari yang menciptakan badan. Artinya, badan manusia diciptakan dengan keadaan sempurna adanya. Hal ini ditegaskan pada kalimat berikutnya bahwa penciptaan badan itu berlangsung 9 bulan 10 hari agar raga sempurna. Namun, pernyataan ”selain kau mendapatkan izin dari yang menciptakan badanmu” bisa juga bermakna bahwa manusia diciptakan dalam kondisi cacat fisik. Cacat secara fisik ini jangan sekali-kali dilihat secara parsial. Hal ini ditegaskan pada bait kedua dan ketiga bahwa kesempurnaan itu harus dilihat dalam konteks kehidupan, jangan hanya dilihat dari kelengkapan jari dalam satu tangan dan kelengkapan mata, hidung, dan mulut dalam satu wajah. Kesempurnaan itu begitu paripurna, menyeluruh dalam aspek kehidupannya.
Manusia tidak diperkenankan menganiaya dan mencoba bunuh diri (dengan paksa melepas ruh) karena ruh itu diciptakan Tuhan jauh sebelum raga manusia diciptakan. Hanya Tuhan yang berhak meminta keluar dari raga manusia. Namun ditandaskan pada baris berikutnya bahwa Tuhan tak tega mencabut nyawa manusia karena semata-mata Tuhan sangat mencintai manusia. Hal ini menjadi jelas pada baris berikutnya: Tuhan mengutus malaikat Israil untuk mengambil nyawa manusia.
Manusia diminta untuk tidak berputus asa karena asa itulah yang membedakan manusia dengan makhluk lain yang bernyawa (binatang) apalagi untuk alasan yang tidak berharga. Yang berharga adalah cinta manusia kepada Allah karena Allah penuh rahmat dan kerahiman. Jangan pula berputus asa sebab Allah tak pernah putus asa menanti manusia untuk menghamba kepadanya walaupun manusia itu penuh alpa dan berkhianat.

4. Penutup
Puisi berjudul ”Kau bukan Israil” syarat dengan nasihat yang berkaitan dengan hakikat kehidupan manusia. Ada tiga elemen pokok dalam setiap kehidupan manusia yang cenderung rapuh, yaitu badan (elemen fisik), ruh (elemen jiwa), dan asa (elemen kehendak). Manusia pada dasarnya lemah pada ketiga elemen itu. Dengan puisi yang berjudul ”Kau bukan Israel” inilah manusia diingatkan untuk menjaga kesempurnaan dalam hidupnya.



Daftar Pustaka

Abrams, M.H. 1979. The Mirror and The Lamp. London-New York: Oxford University
Press.

Culler, Jonathan. 1977. Structuralist Poetics. London: Roudledge & Kegan Paul.

Hawkes, Terence. 1978. Structuralism and Semiotics. London: Methuen & Co. Ltd.

Hill, Knox C. 1966. Interurating Literature. Chicago: The University Press of Chicago.

Jakobson, Roman. 1978. “Closing Statement: Linguistics and Poetics’ dalam Thomas A.
Sebeok (Ed). Style hi Language Cambridge,
Massachusetts: The
Massachusetts Institute of Technology.

Junus, Umar. 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta: Sinar Harapan.

Pradopo, Rakhmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pradotokusumo, Partini Sardjono. 2005. Pengkajian Sastra. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.

Preminger, Alex, dkic, 1974. Princeton Encyclopedia of Poetry and Poetics. Princeton:
Princeton University Press.

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington & London: Indiana
university Press.
Sang, Ratih. 2006. Surat untuk Ayah (Kumpulan Puisi). Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Sansom, Clive. 1960. The World of Poetry. London: Phoenix House.

Seung, T.X. 1982. Semiotics and Thematics in Hermeneutics. New York: Columbia
University Press.

Supriyanto, Teguh. 2008. Teks dan Ideologi: Studi Sastra Populer Cerita Silat.
Semarang: Universitas Negeri Semarang Press.
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.

0 komentar:

Posting Komentar